makalah metodologi penyaluran zakat




METODOLOGI PENYALURAN ZAKAT


Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Manajemen Zakat Semester 7 Kelompok 1 Program Studi Ekonomi Syariah Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone.

Oleh :


KELOMPOK 3


SUSANTI
NIM. 01123020

NIRMAYANTI
NIM. 01123004

PERAWANTI
NIM. 01123016

ZULKIFLI
NIM.0112301





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2015



METODOLOGI PENYALURAN ZAKAT
Oleh Kelompok 3

PROLOG

Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam dan lima nilai instrumental pengentas kemiskinan yang strategis dan berpengaruh pada tingkah laku ekonomi masyarakat sehingga tujuan zakat tidak hanya menyantuni secara konsumtif namun juga memiliki tujuan permanen untuk mengentaskan kemiskinan. Melihat begitu pentingnya zakat dalam mengentaskan kemiskinan, maka perlu managemen yang baik dalam metode penyalurannya.
Hampir semua orang islam tahu bahwa zakat adalah salah satu rukun islam yang kelima, namun kita yakin bahwa hanya sebagian kecil yang membayar zakat. Hal ini dikarenakan kurangnya menerima informasi tantang ajaran zakat (bersifat kuantitatif, yakni kurang tersentuh langsung oleh informasi tentang Zakat yang seharusnya diberikan oleh Badan Amil Zakat, atau bersifat kualitatif, yakni kurang mendapatkan pengertian tantang makna ajaran zakat sesuai dengan tingkat pemikiran masyarakat). Dan kurang/ tidak percaya terhadap panitia/badan yang mengelola zakat. Mereka yang telah membayar Zakat kepada panitia/badan Amil Zakat, tentunya bertanya-tanya kemanakah Zakat tersebut di salurkan.[1]
Pembagian Zakat secara tradisional yang bersifat konsumtif tidak akan banyak membuahkan hasil. Karena begitu zakat didapat akan habis selesai dimakan. Belum lagi terhitung kalau terjadi ketidaktepatan didalam pengelolaannya, baik oleh panitia maupun mereka yang dikategorikan berhak menerima zakat. Melihat hal tersebut maka metode penyaluran zakat sangat urgen untuk di bahas dalam tulisan ini karena dapat memberikan solusi permasalahan zakat yang sedang terjadi di masyarakat dan khususnya kepada lembaga yang berperan khusus dalam penyaluran zakat.

DIALOG
Mustahik zakat
Dalam surah at-Taubah ayat 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (Mustahik zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina alaiha). Sedangkan dalam at-Taubah:103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (Muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil).[2]
Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelolaan zakat, harus segera di salurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. zakat tersebut harus di salurkan kepada para mustahik sebagaimana telah ditentukan Allah dalam firman-Nya,at-Taubah (9);60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[3]
Ayat ini membatasi dan mengkhususkan para mustahik zakat hanya pada delapan golongan (asnaf) saja. Zakat tidak boleh diberikan kepada yang lain selain mereka. Ayat tadi menggunakan kata innamaa (hanyalah), yang dalam bahasa arab merupakan salah satu kata pembatas (adatul hashr). Lagipula setelah itu ada huruf lamul milki ( huruf laam yang menunjukkan kepemilikan, yang di baca li pada kata lil fuqaraa’). Ini menunjukkan adanya pembatasan hak menerima zakat serta pembatasan kepemilikannya hanya pada delapan golongan berikut:
Pertama, Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, dan tempat tinggal). Atau siapa saja yang pendapatannya lebih sedikit dari apa yang dibutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hanya orang fakir yang berhak menerima zakat. Orang kaya haram menerima zakat. Abdullah bin Amru berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya dan orang-orang yang memiliki kemampuan (dzu mirratin sawiyyin)”. Dzu mirratin sawiyyin dalam hadis di atas adalah orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk berusaha. Jika dia tidak mendapat sesuatu yang dapat diusahakan,maka ia di anggap fakir.[4]
Kedua, Miskin adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa mereka hidup dalam ketiadaan harta. Namun mereka tidak meminta-minta kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda: “tidak dikatakan orang miskin orang yang meminta-minta kepada orang lain yan g kemudian ia diberi sesuap atau dua suap, sebutur atau dua butir kurma. Akan tetapi, orang miskin ialah orang yang tidak mendapatkan kekayaann yang mencukupi kebutuhannya, serta tidak meminta-minta kepada manusia. Dann ia tidak terfitnah karena miskin, maka berilah zakat kepadanya” (Hr.Muttafaq Alaih).[5]
Ketiga, Amil (pengurus zakat) adalah orang-orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat dari para wajib zakat (muzzakki) dan mendistribusikan harta zakat tersebut kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiquz zakat). Mereka berhak mendapat zakat walaupun mereka kaya, sebagai imbalan atas tugas mereka mengumpulkan dan membagikan zakat. Orang kaya boleh menerimah zakat namun dengan kondisi bahwa: (a) bertugas sebagai amil zakat, (b) orang kaya yang membeli zakat dengan hartanya sendiri, (c) orang kaya yang memiliki tetangga miskin. Diamana zakat yang diambil oleh sikaya ini diberikan kepada tetangganya tersebut, (d) orang kaya yang berperan, (e) orang kaya yang punya utang.  
Keempat, Muallaf adalah orang-orang yang dipandang oleh negara layak untuk menerimah zakat untuk menguatkan iman mereka. Mereka itu seperti para pemimpin, toko masyarakat yang berpengaruh, dan pahlawan, yang baru masuk islam dan belum kuat imannya. Dalam hal ini khalifa atau para wali berhak menerimah, apakah orang-orang ini perlu di beri zakat untuk mengikat hati mereka, menguatkan iman mereka,memanfaatkan mereka untuk kepentingan islam dan kaum muslim, atau untuk memengaruhi para pengikut mereka.
Muallaf ini tidak di beri zakat kecuali jika mereka adalah muslim. Jika masih kafir, maka dia tidak di beri harta dari zakat. Hal ini karena zakat tidak diberikan kepada orang kafir, berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada Mu’Adz, ketika dia di utus keyaman: “Berutahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka membayar zakat. Zakat itu di ambil dari orang-orang kaya mereka dan di kembalikan kepada orang-orang fakir mereka”. (Hr. Bukhari dan Muslim). Mereka juga tidak akan diberi zakat kecuali jika ada ilat (sebab penetapan hukum) yang menyebabkan mereka dapat di beri zakat. Jika ilatnya tidak ada, maka mereka tidak diberi zakat ini seperti yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar r.a, yang tidak memberikan zakat kepada para muallaf setelah islam kuat dan tersebar.[6]
Kelima, Budak, Pemberian ini untuk mengeluarkan hambah sahaya dari perbudakan. Waliyul Amri mengatur pemberian zakat ini untuk membeli dan memerdekakan hambah sahaya, atau membantu hambah mukataf, yaitu mereka yang telah dijanjikan tuannya akan di merdekakan dengan syarat membayar kepadanya sejumlah harga mereka. Seorang atau sekelompok orang dengan uang zakatnya atau petugas zakat dengan uang zakat yang telah terkumpul dari dari para muzaki, membeli budak atau ammah (budak perempuan) untuk kemudian membebaskannya. Masalah riqab (budak) ini sesungguhnya terkait dengan masalah lainnya di luar zakat, seperti para tenaga kerja tersebut, yang sebagian besar memang berasal dari keluarga yang tidak mampu, jika ingin keluar dari lingkungan pekerjaannya yang tidak nyaman dan memerlukan dana untuk membayarganti rugi pada majikannya, mereka berhak dibantu dari dana zakat atas nama asnaf fakir miskin atau atas nama asnaf ibnu sabil dan bukan atas anama asnaf fir-riqab.[7]
Keenam,Gharim (orang-orang yang berutang) yakni mereka yang menanggung utang dan tidak mampu menyelesaikan utangnya dengan syarat utangnya itu bukan dalam maksiat. Termasuk dalam Al-Garimu (orang-orang yang berutang), juga mereka yang berutang, meskipun mampu melunasinya, kalau utang mereka itu untuk melaksanakan pengabdian umum, seperti mereka yang melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum sehingga menumpuklah utangnya. Dua golongan ini, yakni yang berutang untuk kepentingan darinya, dan yang berutang untuk kepentingan umum, berhak menerima zakat. Demikianlah sikap islam terhadap mereka yang berutang, yang belum pernah diterapkan dalam sistem politik lain.
Ketujuh, Sabilillah adalah para pahlawan sukarelawan. Mereka di beri zakat, meskipun mereka kaya, untuk mendorong keberanian mereka dalam bertempur. Imam Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa maksud sabilillah ialah orang yang menunaikan ibadah haji, tetapi terputus karena kehabisan biaya. Imam Abu Hanifah berdapat bahwa sabilillah semua bentuk qurbah (usaha mendekatkan diri kepada Allah). Jadi, termasuk dalam sabilillah adalah setiap usaha untuk menaati Allah dan jalan bermacam-macam kebajikan apabilah diperlukan. Zakat yang dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan umum dan untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan umat, itulah yang disebut sabilillah.[8]
Kedelapan, Ibnu Sabil Yaitu orang yang kehabisan bekal dalam perjalanannya, yang tidak mempunyai harta yang dapat mengantarkannya untuk sampai ke negerinya. Kepadanya diberikan zakat dengan jumlah yang dapat mengantarkan ia sampai ke negerinya, baik jumlah yang dibutuhkan itu banyak maupun sedikit. Demikian pula diberikan kepadanya biaya selama perjalanan hingga ia dapat sampai di negerinya, walaupun ia seorang yang kaya di negerinya, karena sabda Rasulullah SAW : “Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali (yang berjihad) di jalan Allah, atau ibnu sabil”.[9]
Kaidah Penyaluran Zakat
Bagi pihak-pihak yang telah ditunjuk dan memiliki kewenangan dalam mengelola zakat (BAZNAS, LAZ, BAZIS, Amil Zakat, dll), hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah berikut: (a) Alokasi atas dasar kecukupan dan keperluan. Pengalokasian zakat kepada mustahik haruslah berdasarkan tingkat kecukupan dan keperluannya masing-masing. Dengan menerapkan kaidah ini, maka akan mendapat suplus pada harta zakat, seperti yang terjadi pada massa pemerintahan Umar Bin khatab, Utsman Bin Affan, dan Umar Bin Abdul Azis. (b) Berdasarkan harta yang terkumpul, Harta zakat yang terkumpul itu dialokasikan kepada mustahik sesuai dengan kondisi masing-masing. Kaidah ini akan mengakibatkan masing-masing mustahik tidak menerima zakat yang dapat mencukupi kebutuhannya dan menjadi wewenang pemerintah dalam mempertimbangkan mustahik mana saja yang lebih berhak dari pada yang lain. Setiap kaidah yang disimpulkan dari sumber syariat Islam ini dapat diterapkan tergantung pada pendapatan zakat dalam kondisi yang stabil. (c) penentuan volume yang diterima mustahik, yaitu fakir dan miskin, riqab( budak), dan ghamir (orang-orang yang berutang) masing-masing terbagi 50%,  sedangkan sabilillah dan muallaf 25%, Ibnu sabil 12,5%, Amil 12,5%.[10]
Distribusi Zakat
Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui hak individu dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan (penghasilan) dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko.
Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan sumber-sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Kurangnya program yang efektif untuk mereduksi kesenjangan sosial yang terjadi selama ini, jika tidak diantisipasi, maka akan mengakibatkan kehancuran umat yang lebih parah. Syariah Islam sangat menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran Surah Al Hasyr ayat 7.
Salah satu cara yang dituntut oleh Syariah Islam atas kewajiban kolektif perekonomian umat Islam adalah "lembaga zakat". Secara teknik, zakat adalah kewajiban financial seorang muslim untuk membayar sebagian kekayaan bersihnya atau hasil usahanya apabila kekayaan yang dimilikinya telah melebihi nishab (kadar tertentu yang telah ditetapkan).
Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosio−ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.
Zakat yang diterima oleh Badan atau Lembaga Amil Zakat tidak signifikan dengan jumlah penduduk muslim yang ada. Kecilnya penerimaan zakat oleh Amil Zakat bukan hanya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan agama masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Hal itu mengakibatkan masyarakat condong menyalurkan zakat secara langsung kepada orang, yang menurut mereka, berhak menerimanya. Sehingga tujuan dari zakat sebagai dana pengembangan ekonomi tidak terwujud, tetapi tidak lebih hanya sebagai dana sumbangan konsumtif yang sifatnya sangat temporer.
Contoh, hampir setiap menjelang Idul Fitri kita mendengar, membaca, dan melihat pemandangan yang menyedihkan. Ribuan orang berdesak-desakan sampai beberapa orang pingsan untuk berebut zakat mal dari seorang pengusaha dan atau pejabat publik. Tentu kita tidak menginginkan peristiwa itu terulang. Warga miskin mempertaruhkan jiwanya untuk mendapatkan sedikit uang (antara 10 ribu sampai 25 ribu rupiah).[11]
Distribusi zakat adalah penyaluran atau pembagian harta yang kelebihan kepada orang-orang yang kekurangan harta yaitu mustahik. terdapat dua kunci dalam menyediakan jasa menuju pasaran dan sasaran, yaitu pemilihan lokasi dan saluran distribusi. Distribusi atau penyaluran dana zakat hanya dapat di berikan kepada delapan asnaf sebagaimana telah ditetapkan kedalam al-quran. Hal ini menunjukkan bahwa zakat harus diambil dan didistribusikan di daerah dimanazakat itu di ambil . jadi sebelum dibantu masyarakat lain, maka harus dibantu terlebih dahulu masyarakat di sekitar wilaya muzakki.
Memang dalam konsep zakat itu harus didistribusikan di daerah muzakki kepada semua kelompok penerima zakat (asnaf) diwilayah dimana zakat itu di peroleh. Golongan fakir dan miskin di daerah terdekat dengan muzakki adalah sasaran pertama yang berhak menerima zakat. Karena memberikan kecukupan kepada mereka merupakan tujuan utama dari zakat yang membutuhkan perhatian khusus. Tidak dibiarkan orang fakir miskin dibiarkan terlantar dan kelaparan.
 Ada beberapa ketentuan dalam mendistribusikan dana zakat kepada mustahiq: (1) Mengutamakan distribusi domestik, dengan melakukan distribusi lokal atau lebih mengutamakan penerima zakat yang berada dalam lingkungan terdekat dengan lembaga zakat (wilayah muzakki) dibandingkan pendistribusiannya untuk wilayah lain. (2) Pendistribusian yang merata dengan kaidah-kaidah sebagai berikut: (a). Bila zakat yang dihasilkan banyak, setiap golongan mendapat bagiannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. (b). Pendistribusiannya haruslah menyeluruh kepada delapan golongan yang telah ditetapkan. (c). Diperbolehkan untuk memberikan semua bagian zakat kepada beberapa golongan penerima zakat saja, apabila didapati bahwa kebutuhan yang ada pada golongan tersebut memerlukan penanganan secara khusus. (d). Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat, karena memenuhi kebutuhan mereka dan membuatnya tidak bergantung kepada golongan lain adalah maksud dan tujuan diwajibkannya zakat. (e). Pendapat Imam Syafi’i sebagai kebijakan umum dalam menentukan bagian maksimal untuk diberikan kepada petugas zakat, baik yang bertugas dalam mengumpulkan maupun yang mendistribusikannya. (3) Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat. Zakat baru bisa diberikan setelah adanya keyakinan dan juga kepercayaan bahwa si penerima adalah orang yang berhak dengan cara mengetahui atau menanyakan hal tersebut kepada orang-orang adil yang tinggal di lingkungannya, ataupun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Agar dana zakat yang disalurkan itu dapat berguna dan berhasil dengan baik, maka pemanfaatannya harus selektif untuk kebutuhan konsumtif atau produktif.
 Mekanisme distribusi zakat kepada mustahiq bersifat konsumtif dan juga produktif. Menurut Mufraini distribusi zakat tidak hanya dengan dua cara akan tetapi ada tiga yaitu: distribusi konsumtif, distribusi produktif, dan investasi.
Distribusi zakat secara konsumtif (bantuan sesaat) merupakan zakat yang  diberikan kepada mustahik yang hanya sekali atau sesaat saja. Namun berarti bahwa penyaluran kepada mustahik tidak disertai target terjadinya kemandirian ekonomi (pemberdayaan) dalam diri mustahik. Yang dalam aplikasinya dapat meliputi orang tua yang sudah jompo, orang cacat, pengungsi yang terlantar atau korban bencana alam. Dalam distribusi konsumtif disini dapat diklarifikasi menjadi dua, yaitu: (1) Tradisional, Zakat dibagikan kepada mustahiq dengan secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Misalnya pembagian zakat fitrah berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap idul fitri. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi permasalahan umat. (2) Kreatif, Zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi. Proses pengkonsumsian dalam bentuk lain dari barangnya semula. Misalnya diberikan dalam bentuk bea siswa untuk pelajar. Pola distribusi zakat secara konsumtif diarahkan kepada: (a.) Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar dari para mustahiq. Sama halnya dengan pola distribusi konsumtif tradisional yang realisasinya tidak jauh pada pemenuhan sembako bagi kelompok delapan asnaf. Yang menjadi persoalan kemudian adalah seberapa besar volume zakat, apakah untuk kebutuhan konsumtif sepanjang tahun, atau hanya untuk memenuhi kebutuhan makan satu hari satu malam. Pendistribusian yang seperti ini sangat tidak mendidik jika diberikan sepanjang tahun dan tidak berarti apa-apa jika untuk satu hari satu malam saja. (b.) Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis. Diarahkan kepada pendistribusian konsumtif non makanan, walaupun untuk keperluan konsumsi mustahiq. Misalnya untuk peningkatan kesejahteraan social yaitu pengupayaan renovasi tempat-tempat pemukiman. Sedangkan untuk kesejahteraan psikologis adalah dengan Lembaga Zakat menyalurkan dalam bentuk bantuan pembiayaan. Misal nikah masal, sunat masal bagi anak-anak mustahiq. (c.) Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan SDM agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan mustahiq. Baik berupa beasiswa sekolah, pelatihan-pelatihan dan peningkatan keterampilan non formal. Yang dapat dimanfaatkan untuk kelanjutan menjalani kehidupan dan menggapai kesejahteraannya.[12]
Distribusi zakat secara produktif (pemberdayaan) merupakan penyaluran zakat yang di harapkan akan terjadinya kemandirian ekonomi mustahik. pada pemberdayaan ini disertai dengan pembinaan atau pendampingan atas usaha yang dilakukan. Islam tidak sekedar mengatur secara rinci mengenai aturan pengumpulan maupun pendistribusian zakat dan tidak pulah pembayaran zakat  sekedar menolong fakir miskin untuk memenuhi kebutuhanya, lebih dari itu tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya dari pada harta sehingga ia menjadi tuannya harta bukan budaknya harta. Pola distribusi zakat secara produktif  dapat diklarifikasikan menjadi dua bagian yaitu antara lain: (1) Tradisional/konvensional, Zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha. Misalnya pemberian bantuan ternak kambing, dan sapi. (2) Kreatif, Zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek sosial seperti membangun sekolah, tempat ibadah, maupun sebagai modal usaha untuk membantu mengembangkan usaha para pedagang atau pengusaha kecil. Zakat secara produktif ini bukan tanpa dasar, zakat ini pernah terjadi di zaman Rasulullah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi. Selain sebagai modal usaha, penyaluran zakat produktif juga dapat berupa penyediaan sarana kesehatan gratis dan sekolah gratis untuk anak keluarga miskin. Tetapi sekali lagi, pendataan keluarga miskin ini harus dilakukan dengan ketat agar zakat tidak terdistribusi kepada golongan yang tidak berhak.
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut: (a) Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat. (b) Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil, homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih. (c) Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pad pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggung jawab. (d) Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.
Pola distribusi zakat secara investasi, Menurut Dr. Umer Chapra, zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Neal Robinson, Guru Besar pada Universty of Leeds, yang mengatakan bahwa zakat mempunyai fungsi sosial ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya larangan riba, zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta namun malahan merangsang investasi untuk alat produksi atau perdagangan.
Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak serta kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar.[13]
Peran Lembaga Zakat
Pengelolaan zakat awalnya pada masa penjajahan dan kemerdekaan memilki gambaran buram tentang fungsi zakat karena tidak ada pembayaran dan penyaluran zakat secara baik sehingga pada masa orde baru pemerintah mengeluarkan UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat dalam rangka melembagakan pengelolaan zakat agar mempermudah dalam pengelolaan zakat sehingga menunjang kebutuhan sosial untuk konsumtif maupun produktif serta merupakan awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif melalui BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Namun UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat dianggap belum mampu menjawab permasalahan pengelolaan tersebut sehingga pemerintah merevisi UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011 tentang pengelolaan zakat agar dapat memperbaiki undang – undang sebelumnya karena UU No. 38/1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pengelolaan zakat di Indonesia untuk saat ini, telah diatur oleh UU No. 23/2011. Berdasarkan UU tersebut dijelaskan mengenai dana zakat yang dapat disalurkan melalui BAZNAS yang merupakan organisasi bentukan pemerintah dan LAZ bentukan non-pemerintah (Saefudin, 2008). BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. (Pasal 6). Lembaga Amil Zakat (LAZ) ialah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keberadannya untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 17).
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, memiliki beberapa keuntungan antara lain sebagai berikut: (1) Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. (2)  Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat daripada muzakki. (3) Untuk mencapai efisien dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. (4) Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.
Peran lembaga-lembaga zakat seperti BAZNAS dan LAZ menjadi fasilitator yang sangat penting dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat sebagai instrumen yang dapat mempengaruhi pemerintah sosial ekonomi. Peran pemerintah sebagai fungsi distribusi di mana pemerintah menjalankan fungsi ekonomi pemerintah yang berkaitan erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah yang bersangkutan dan terdistribusi secara proposial dengan pengertian bahwa daerah yang satu dimungkinkan tidak sama tingkat kesejahteraannya dengan daerah yang lainnya karena akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kemampuan daerahnya masing-masing.[14]
Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan sosial dalam Islam, dimana aturan jaminan ini tidak dikenal di barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit yaitu jaminan pekerjaan dengan menolong orang yang lemah dan fakir. Lebih lanjut Menurut Wahbah Zuhaili dalam Muhammad Soekarni tujuan zakat bagi kepentingan masyarakat adalah: (a) menggalang jiwa dan semangat saling menunjang solidaritas sosial dikalangan masyarakat Islam . (b) merapatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat. (c) menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana seperti bencana alam. (d) menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, sengketa dan berbagai kekacauan dalam masyarakat. (e) menyediakan dana khusus untuk menanggulangi biaya hidup bagi para gelandangan, para penganggur dan para tuna sosial lainnya, termasuk membantu orang-orang yang akan menikah yang tidak memiliki dana.
Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa masalah sosial dapat ditanggulangi dari sumber penerimaan zakat, yang tidak hanya dapat mengurangi kelompok fakir miskin saja melainkan mempunyai cakupan yang lebih luas. Berbagai pengeluaran yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah sosial dapat diambil dari dana zakat. Gerakan zakat adalah gerakan kemanusiaan yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam bidang ekonomi. Selama umat manusia ingin mencapai keadilan tersebut, maka gerakan zakat akan selalu menjadi relevan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu adanya kerjasama antara pemerintah, ulama dan masyarakat untuk memperbaiki sistem ekonomi ke depan dalam memanfaatkan dan menyalurkan dana zakat, sehingga hasil yang dicapai menjadi optimal.
 Disamping itu pemerintah mengawasi dan menempatkan aparat yang disiplin dan jujur, demikian pula kontrol dari masyarakat dan lembaga independen tidak boleh diabaikan peranannya.Walaupun belum seluruhnya, akan tetapi kebijakan dan langkah-langkah pemerintah sangat mendukung program pengentasan kemiskinan dan perbaikan ekonomi umat, yaitu dengan cara: (1) Menyediakan dan menyelenggarakan jaminan Sosial. (2) Meningkatkan mutu Sumberdaya manusia. (3)Menyediakan dan menyelenggarakan bantuan bagi kota ataupun desa miskin.(4) Menyediakan dan membangun sarana dan prasarana ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin. (5) Mendirikan lembaga keuangan mikro syariah.
Jika kesejahteraan masyarakat tercapai maka diharapkan kemiskinan yang selama ini menjadi permasalahan terbesar bangsa akan berkurang, dan diharapkan terjadi peningkatan taraf pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga hal ini akan berpengaruh positif pada stabilitas sosial ekonomi di Indonesia.[15]

EPILOG
Pengalokasian zakat kepada mustahik haruslah berdasarkan tingkat kecukupan dan keperluannya masing-masing. Dengan menerapkan kaidah ini, maka akan mendapat suplus pada harta zakat. Harta zakat yang terkumpul itu dialokasikan kepada mustahik sesuai dengan kondisi masing-masing. Kaidah ini akan mengakibatkan masing-masing mustahik tidak menerima zakat yang dapat mencukupi kebutuhannya dan menjadi wewenang pemerintah dalam mempertimbangkan mustahik mana saja yang lebih berhak dari pada yang lain.
Dengan penyaluran dan distrubisi zakat yang baik, maka tidak mungkin salah satu tujuan zakat yaitu untuk mengentaskan kemiskinan akan terwujud dengan nyata.














REFERENSI


Amiruddin, dkk,  Anatomi Fiqh Zakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Burhanudin Nandang, Mushaf Al-Burhan, Bandung : Media Fitrah Rabbani, 2011

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta : Gema Insani Press, 2002

Huda, Nurul, dkk, Keuangan Publik Islan “Pendekatan Teoritis dan Sejarah” Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

Kadir, Abdul, dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002

Kurnia, Hikmat, A Hidayat, Panduan Pintar Zakat Jakarta: QultumMedia, 2008

Muhammad, Ahmad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip Dan Tujuan Ekonomi Islam  Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999


Al-Jawi, M. Shiddiq, “Reinterpretasi Alokasi Zakat Mengkaji Ulang Mekanisme Distribusi Zakat dalam Masyarakat Modern”, Jurnal Ekonomi, Diakses tanggal 22 October 2015

Rahman, Zainur, “Optomalisasi Distribusi Zakat”, Jurnal Ekonomi, Diakses tanggal 23 Oktober 2015.



[1] A.QodriAzizy, membangun Fondasi Ekonomi Umat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h. 132
[2] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), h. 125.

[3] Nandang burhanudin, Mushaf Al-Burhan, (Bandung : Media Fitrah Rabbani, 2011), h. 196.
[4] Nurul Huda, dkk, Keuangan Publik Islan “Pendekatan Teoritis dan Sejarah” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 156

[5] Ibid.,158
[6] Ibid, 161-162.
[7] Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip Dan Tujuan Ekonomi Islam  (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 120

[8] Ibid, 120-121.
[9] M. Shiddiq Al-Jawi, “Reinterpretasi Alokasi Zakat Mengkaji Ulang Mekanisme Distribusi Zakat dalam Masyarakat Modern”, Jurnal Ekonomi, Diakses tanggal 22 October 2015

[10] Hikmat Kurnia, A Hidayat, Panduan Pintar Zakat (Jakarta: QultumMedia, 2008) hlm.158
[11] Zainur Rahman, “Optomalisasi Distribusi Zakat”, Jurnal Ekonomi, Diakses tanggal 23 Oktober 2015.
[12]  Amiruddin, dkk,  Anatomi Fiqh Zakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 3.
[13] Ibid
[14] Abdul Kadir, dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 96. 
[15] Ibrahim Vatih, “Peranan Zakat Sebagai Manifestasi Ketaqwaan Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, Jurnal Sosial dan Humani, Diakses tanggal 23 October 2015

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer